Sorai
ramai sekali kicau burung gereja, ntah apa yang tengah mereka bincangkan. Roda
yang menjanjaki pedal kehidupan berjalan beriring dengan titah Nya. Keniscayaan
kehendak Allah lebih anggun ketimbang rencana
detail buatan kita. Tapi, bukannya masa depan bisa di rapal dengan
merencanakannya? Tentu, itu bentuk usaha. Karena takdir bisa saja lebih baik,
sama saja atau bahkan berbanding terbalik dengan perencanaan kita. “Itu memang
tugas manusia, ustazah. Kita yang berencana, dan Allah yang Maha Menetapkan”.
Aku
menaruh harapan dan mendapatkan banyak inspirasi dari insan ini. Kesan awal
yang aku dapatkan adalah bahwa dia sudah melalui hal yang selama ini aku
mimpikan. Lanjut studi dan negeri luar. Ketika aku menulis ulang kisah ini,
dalam layar putih Microsoft word, disaat itu juga aku menanti 59 hari menuju
akad. Benar, akad nikah. Persaksian komitmennya dengan memantapkan hati dan
menjabat tangan bapak, “aku terima nikahnya…”
Ketika
berimajinasi tentang kejadian itu, debar jantung, gugup, pikiran berkecamuk.
Ntah apa perasaan ku nanti. Saat ta’aruf saja kondisi hati dan pikiran sudah
tidak normal, terlebih saat khitbah sudah segugup itu, bagaimana ketika akad
nanti. Lebih gugup dari presentasi didepan penguji. Aku serius. Mungkin setiap
wanita akan memiliki degup jantung yang serupa.
Tepat
30 September 2017 lalu, adik kos ku bercerita tentang event seminarnya padaku, yang salah satu narasumbernya mendadak
membatalkan kerjasama. “Kak, ada gak kawan kakak yang kuliah di Jepang”.
“Gak
ada dek, tapi yang pernah magang di Jepang ada dek, tapi dia orang Malang”
“Yah
kak, ada yang lain ndak ya kak? Untuk ngisi acara tanggal 8 Oktober kak”
“Ada
dek, tapi dari timur tengah sih, gimana?”
“Boleh
kak”
“Ada
dua sih dek, di sekolah kakak. Yang satu namanya kak Iir, dia pernah kuliah di
kairo dek, sekarang udah punya anak, dan InsyaAllah sebentar lagi berangkat ke
Pakistan, karena suaminya dapat beasiswa S3 disana. Dan yang kedua, laki-laki,
pernah kuliah di Tunisia, udah S2”
“Yang
laki-laki itu beasiswa juga kak?”
“Iya
dek”
“Yaudah
yang kedua aja kak”
Pada
malam 30 September itu, komunikasi itu terbangun, sungguh tanpa ada niat
membangun komunikasi berlebihan dan tanpa ada niat apapun selain menanyakan
kesediaannya untuk mengisi acara seminar itu. Dia pernah menjadi guru di sekolah tempatku
mengajar, kurang lebih satu bulan, karena itu aku mengenalnya.
“Assalamu’alaikum, ustadz sugi, saya
suci guru SMP Al-Fityan. Afwan ustadz sedang sibukkah? Ustadz afwan, apakah tgl
8 ustadz sudah ada agenda?” -19:46
“Wa’alaikumsalam,
Marhaban
ustazah.. apa kabar?
8
oktober sementara saya belum ada agenda ustazah. Ada apa ya ustazah?” -20:22
“Alhamdulillah
baik ustadz, ustadz apa kabar?
Ustadz,
saya mau Tanya, ustadz kuliah di Sudan dan Tunisia dengan beasiswa atau tidak
ya ustadz?” -20:26
“Alhamdulillah
baik. Saya dulu bukan di Sudan ustazah. Tapi di Libya dan Tunisia. N keduanya
berbeasiswa. Ustazah mau kuliah disana? (:”
-20:30
“Oo
Libya ya ustadz. Ustadz, temen saya dan organisasinya ada membuat seminar
tentang pendidikan luar negeri. Dua pembicaranya sudah ada dan kurang 1
pembicara lagi. Kira-kira ustdz bersedia menjadi salah satu narasumbernya?”
-20:37
(lalu ada beberapa penjelasan tentang
teknis seminar tersebut)
“Iya
ustazah, boleh ustazah, InsyaAllah..” -20:42
“Alhamdulillah,
saya berikan nomor ustadz ke temen saya ya. Untuk lebih jelasnya, akan di
jelaskan dengan panitianya ustadz ..” -20:43
“Baik
ustazah ..”
Alur
obrolan terhenti sampai disana. karena memang tidak ada niat untuk membangun
komunikasi berlebih yang membahas hal-hal pribadi dan mengenalkan diri. Enam hari
setelahnya, aku beranikan menanyakan jenis beasiswa apa yang dia dapatkan saat
sekolah di luar. Jujur saja, keinginan untuk lanjut studi masih menancap kuat
di sanubari.
“Macem-macem
ustazah, S1 beasiswa Medco foundation (Perusahaan minyak), S2 beasiswa Mora
Scholarship (Kementrian Agama). Dan untuk S3 saya belum apply ustazah, tapi
InsyaAllah antara 2, kalau tidak Mora Scholarship, melanjutkan yang kemarin
atau LPDP affirmasi Kemenkeu. Ustazah ada niat S2 gak?”
Ada
banyak inspirasi tentang niat untuk terus belajar yang ku dapat dari insan ini.
“gak apa-apa ustazah, InsyaAllah nanti
akan S2 di waktu yang tepat, yang penting semangat belajarya harus terus ada”.
Pada komunikasi via whatsApp ini ada beberapa hal yang
membuat tercengang, ada hal yang belum kuutarakan tentang ku ternyata dia sudah
tau. Aku lupa saat itu awalnya membahas tentang apa. “Enggeh ustazah, the teacher of PKn more understand about it”
Pernah
kami membahas tentang sekolah, penyebab kenapa dia pindah dari sekolah,
bagaimana sikap menghadapi anak yang super energik, bagaimana kondisi sekolah
sekarang, dan belajar bahasa arab bagi guru di sabtu pagi.
“Sebenarnya ada sekitar dua sampai tiga
ribu kata bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia”
“really ustadz?”
“Iya ustazah,. Dan klasifikasi
pembelajar bahasa arab kedalam 3 level; pemula, menengah dan mahir. Dan itu
dikembalikan ke-seberapa banyak kosakata yang dia hafal. Kalau dia menguasai
sekitar 1000-1500an kosakata, maka dia masih masuk level pemula, sedangkan
ustazah udah menguasai tiga ribu kosa kata coba, udah masuk level mahir itu. (:
hanya terkadang kita tidak sadar akan hal itu ustazah”
“Mantap, contohnya apa ustadz?”
“Seperti jalan tol, itu dari bahasa
arab. Jaulan artinya perjalanan dan Tuul artinya panjang atau lurus”
“Hemm MasyaAllah…sepertinya saya masuk
dalam bagian orang-orang yang gak sadar kalau banyak bahasa arab diserap bahasa
Indonesia…”
“Hehehe, sadar ustazah,,, sadar”
Aku
semakin tertarik untuk belajar bahasa arab, “ustazah
mau saya kirimin modul? Nanti kita bahas bareng”
“Iya ustadz, mau”
Sekitar
sebulan menjadi hari rutin untuk belajar bahasa arab. Bagaimanapun juga, ada
perasaan yang tidak normal, ntah perasaan apa namanya. Kagumkah, sukakah, atau
apakah? Aku beranikan diri untuk menyatakan perasaan untuk mengurangi
intensitas komunikasi. Dan Alhamdulillah, dia mengerti dan memahami. Ntahlah,
hanya saja aku takut merusak keimanannya, bagaimanapun juga, hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang intens akan ada unsur godaan syetan untuk
mengotori hati. Dan aku hanya ingin menjaga itu, menjaga kondisi hatiku untuk
tetap bersikap biasa dan tidak merusak keimanannya.
“Ustadz,
untuk seminggu kedepan saya libur di kelas bahasa arab ya, ada proyek akhirat
yang mau dilaksanakan, jadi untuk kelancaran keberjalanan proyek itu, saya
harus mengkondisikan hp, maaf ustadz”
“Iya
ustazah, ndak apa. Semoga proyeknya lancar dan diberkahi Allah”
Itu
pesan terakhir yang ada di akhir obrolan whatsappku. Setiap kita tentu memiliki
harapan untuk hari setelah hari ini. Harapan, do’a dan sujud sepertiga malam
menjadi rutinan yang penuh kenikmatan, rasa berserah pada Nya adalah jalan
untuk membendung perasaan asing seorang perempuan. aku belajar lebih ikhlas
untuk menerima semua ketetapanNya. Ada sinyal positif dari sebuah kalam
cintaNya “Aku tergantung bagaimana perasangka hambaKu”.
Qodarullah,
sepulang mengikuti mukhoyyam Al-Quran, aku mendapatkan kabar dari Murabbiah
bahwa ada seorang ikhwan yang ingin berproses dengan ku. Setelah aku dapatkan
proposal itu, ada kecamuk luar biasa, ntah itu rasa syukur atau bahagia dan
bahkan mungkin keduanya. Pemilik proposal itu adalah, sensei bahasa arabku,
inspirasi ku untuk selalu semangat melanjutkan studi, ustadz yang senantiasa
memberi nasihat, insan itu, tuan teh jahe, Sugianto.
Ada
banyak do’a baik dan harapan tulus dari proses ini, aku menyadari bahwa
komunikasi yang selama ini terbangun adalah tidak baik. Karenanya, semenjak
proses ini, aku menahan diri agar untuk menjadikan proses ini benar-benar
bersih dari nafsu, dan semoga dia juga begitu.
Aku
kabarkan hal ini kepada mamak bapak, dan syukur Alhamdulillah mendapat
tanggapan positif dan restu. Dan semoga Allah juga memberi restu, sebab Ridho
Allah tergantung pada Ridho orang tua.
Setelah
tukar proposal, Alhamdulillah menuju ta’aruf berjalan dengan lancar, diiringi
gerimis sebentar, terhenti saat adzan zuhur. Puluhan pertanyaan yang sudah ku
siapkan, luluh tak bisa kuucapkan saat itu. Malu sekali, tidak percaya diri.
Ada degup jantung luar biasa, setiap detik aku pura-pura kehausan. 13 Januari
2018.
Ustadz
datang kerumah seminggu setelahnya, 21 Januari 2018. Ada kalimat yang
membumbung di langit-langit hati, “Saya bukan ingin mengambil putri bapak, tapi
saya ingin menjadi bagian dari keluarga ini”. Dan 11 Februari ada perhiasan
kecil melingkar di jari manis kananku, yang di pakaikan oleh kakak ustadz. Satu
hal yang ntah dia perhatikan atau tidak, aku mengenakan baju putih dan jilbab
biru. Persis dengan datanya yang ada di proposal, bahwa dia menyukai warna
putih dan biru.
Walau
saat ini belum mencintaimu, tapi setelah akad cintaku hanya untukmu, setelah
Allah dan RasulNya. InsyaAllah … Aamiin,
Medan, Februari 2018