Sunday, July 14, 2019

Terimakasih

Sorai ramai sekali kicau burung gereja, ntah apa yang tengah mereka bincangkan. Roda yang menjanjaki pedal kehidupan berjalan beriring dengan titah Nya. Keniscayaan kehendak Allah lebih anggun ketimbang rencana detail buatan kita. Tapi, bukannya masa depan bisa di rapal dengan merencanakannya? Tentu, itu bentuk usaha. Karena takdir bisa saja lebih baik, sama saja atau bahkan berbanding terbalik dengan perencanaan kita. “Itu memang tugas manusia, ustazah. Kita yang berencana, dan Allah yang Maha Menetapkan”.
Aku menaruh harapan dan mendapatkan banyak inspirasi dari insan ini. Kesan awal yang aku dapatkan adalah bahwa dia sudah melalui hal yang selama ini aku mimpikan. Lanjut studi dan negeri luar. Ketika aku menulis ulang kisah ini, dalam layar putih Microsoft word, disaat itu juga aku menanti 59 hari menuju akad. Benar, akad nikah. Persaksian komitmennya dengan memantapkan hati dan menjabat tangan bapak, “aku terima nikahnya…”
Ketika berimajinasi tentang kejadian itu, debar jantung, gugup, pikiran berkecamuk. Ntah apa perasaan ku nanti. Saat ta’aruf saja kondisi hati dan pikiran sudah tidak normal, terlebih saat khitbah sudah segugup itu, bagaimana ketika akad nanti. Lebih gugup dari presentasi didepan penguji. Aku serius. Mungkin setiap wanita akan memiliki degup jantung yang serupa.
Tepat 30 September 2017 lalu, adik kos ku bercerita tentang event seminarnya padaku, yang salah satu narasumbernya mendadak membatalkan kerjasama. “Kak, ada gak kawan kakak yang kuliah di Jepang”.
“Gak ada dek, tapi yang pernah magang di Jepang ada dek, tapi dia orang Malang”
“Yah kak, ada yang lain ndak ya kak? Untuk ngisi acara tanggal 8 Oktober kak”
“Ada dek, tapi dari timur tengah sih, gimana?”
“Boleh kak”
“Ada dua sih dek, di sekolah kakak. Yang satu namanya kak Iir, dia pernah kuliah di kairo dek, sekarang udah punya anak, dan InsyaAllah sebentar lagi berangkat ke Pakistan, karena suaminya dapat beasiswa S3 disana. Dan yang kedua, laki-laki, pernah kuliah di Tunisia, udah S2”
“Yang laki-laki itu beasiswa juga kak?”
“Iya dek”
“Yaudah yang kedua aja kak”
Pada malam 30 September itu, komunikasi itu terbangun, sungguh tanpa ada niat membangun komunikasi berlebihan dan tanpa ada niat apapun selain menanyakan kesediaannya untuk mengisi acara seminar itu.  Dia pernah menjadi guru di sekolah tempatku mengajar, kurang lebih satu bulan, karena itu aku mengenalnya.
“Assalamu’alaikum, ustadz sugi, saya suci guru SMP Al-Fityan. Afwan ustadz sedang sibukkah? Ustadz afwan, apakah tgl 8 ustadz sudah ada agenda?” -19:46

“Wa’alaikumsalam,
Marhaban ustazah.. apa kabar?
8 oktober sementara saya belum ada agenda ustazah. Ada apa ya ustazah?” -20:22

“Alhamdulillah baik ustadz, ustadz apa kabar?
Ustadz, saya mau Tanya, ustadz kuliah di Sudan dan Tunisia dengan beasiswa atau tidak ya ustadz?” -20:26

“Alhamdulillah baik. Saya dulu bukan di Sudan ustazah. Tapi di Libya dan Tunisia. N keduanya berbeasiswa. Ustazah mau kuliah disana? (:”
-20:30

“Oo Libya ya ustadz. Ustadz, temen saya dan organisasinya ada membuat seminar tentang pendidikan luar negeri. Dua pembicaranya sudah ada dan kurang 1 pembicara lagi. Kira-kira ustdz bersedia menjadi salah satu narasumbernya?” -20:37
(lalu ada beberapa penjelasan tentang teknis seminar tersebut)

“Iya ustazah, boleh ustazah, InsyaAllah..” -20:42

“Alhamdulillah, saya berikan nomor ustadz ke temen saya ya. Untuk lebih jelasnya, akan di jelaskan dengan panitianya ustadz ..” -20:43

“Baik ustazah ..”

Alur obrolan terhenti sampai disana. karena memang tidak ada niat untuk membangun komunikasi berlebih yang membahas hal-hal pribadi dan mengenalkan diri. Enam hari setelahnya, aku beranikan menanyakan jenis beasiswa apa yang dia dapatkan saat sekolah di luar. Jujur saja, keinginan untuk lanjut studi masih menancap kuat di sanubari.
“Macem-macem ustazah, S1 beasiswa Medco foundation (Perusahaan minyak), S2 beasiswa Mora Scholarship (Kementrian Agama). Dan untuk S3 saya belum apply ustazah, tapi InsyaAllah antara 2, kalau tidak Mora Scholarship, melanjutkan yang kemarin atau LPDP affirmasi Kemenkeu. Ustazah ada niat S2 gak?”

Ada banyak inspirasi tentang niat untuk terus belajar yang ku dapat dari insan ini. “gak apa-apa ustazah, InsyaAllah nanti akan S2 di waktu yang tepat, yang penting semangat belajarya harus terus ada”.
Pada komunikasi via whatsApp ini ada beberapa hal yang membuat tercengang, ada hal yang belum kuutarakan tentang ku ternyata dia sudah tau. Aku lupa saat itu awalnya membahas tentang apa. “Enggeh ustazah, the teacher of PKn more understand about it”
Pernah kami membahas tentang sekolah, penyebab kenapa dia pindah dari sekolah, bagaimana sikap menghadapi anak yang super energik, bagaimana kondisi sekolah sekarang, dan belajar bahasa arab bagi guru di sabtu pagi.
“Sebenarnya ada sekitar dua sampai tiga ribu kata bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia”
“really ustadz?”
“Iya ustazah,. Dan klasifikasi pembelajar bahasa arab kedalam 3 level; pemula, menengah dan mahir. Dan itu dikembalikan ke-seberapa banyak kosakata yang dia hafal. Kalau dia menguasai sekitar 1000-1500an kosakata, maka dia masih masuk level pemula, sedangkan ustazah udah menguasai tiga ribu kosa kata coba, udah masuk level mahir itu. (: hanya terkadang kita tidak sadar akan hal itu ustazah”
“Mantap, contohnya apa ustadz?”
“Seperti jalan tol, itu dari bahasa arab. Jaulan artinya perjalanan dan Tuul artinya panjang atau lurus”
“Hemm MasyaAllah…sepertinya saya masuk dalam bagian orang-orang yang gak sadar kalau banyak bahasa arab diserap bahasa Indonesia…”
“Hehehe, sadar ustazah,,, sadar”

Aku semakin tertarik untuk belajar bahasa arab, “ustazah mau saya kirimin modul? Nanti kita bahas bareng”
Iya ustadz, mau
Sekitar sebulan menjadi hari rutin untuk belajar bahasa arab. Bagaimanapun juga, ada perasaan yang tidak normal, ntah perasaan apa namanya. Kagumkah, sukakah, atau apakah? Aku beranikan diri untuk menyatakan perasaan untuk mengurangi intensitas komunikasi. Dan Alhamdulillah, dia mengerti dan memahami. Ntahlah, hanya saja aku takut merusak keimanannya, bagaimanapun juga, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang intens akan ada unsur godaan syetan untuk mengotori hati. Dan aku hanya ingin menjaga itu, menjaga kondisi hatiku untuk tetap bersikap biasa dan tidak merusak keimanannya.
“Ustadz, untuk seminggu kedepan saya libur di kelas bahasa arab ya, ada proyek akhirat yang mau dilaksanakan, jadi untuk kelancaran keberjalanan proyek itu, saya harus mengkondisikan hp, maaf ustadz”
“Iya ustazah, ndak apa. Semoga proyeknya lancar dan diberkahi Allah”
Itu pesan terakhir yang ada di akhir obrolan whatsappku. Setiap kita tentu memiliki harapan untuk hari setelah hari ini. Harapan, do’a dan sujud sepertiga malam menjadi rutinan yang penuh kenikmatan, rasa berserah pada Nya adalah jalan untuk membendung perasaan asing seorang perempuan. aku belajar lebih ikhlas untuk menerima semua ketetapanNya. Ada sinyal positif dari sebuah kalam cintaNya “Aku tergantung bagaimana perasangka hambaKu”.
Qodarullah, sepulang mengikuti mukhoyyam Al-Quran, aku mendapatkan kabar dari Murabbiah bahwa ada seorang ikhwan yang ingin berproses dengan ku. Setelah aku dapatkan proposal itu, ada kecamuk luar biasa, ntah itu rasa syukur atau bahagia dan bahkan mungkin keduanya. Pemilik proposal itu adalah, sensei bahasa arabku, inspirasi ku untuk selalu semangat melanjutkan studi, ustadz yang senantiasa memberi nasihat, insan itu, tuan teh jahe, Sugianto.
Ada banyak do’a baik dan harapan tulus dari proses ini, aku menyadari bahwa komunikasi yang selama ini terbangun adalah tidak baik. Karenanya, semenjak proses ini, aku menahan diri agar untuk menjadikan proses ini benar-benar bersih dari nafsu, dan semoga dia juga begitu.
Aku kabarkan hal ini kepada mamak bapak, dan syukur Alhamdulillah mendapat tanggapan positif dan restu. Dan semoga Allah juga memberi restu, sebab Ridho Allah tergantung pada Ridho orang tua.
Setelah tukar proposal, Alhamdulillah menuju ta’aruf berjalan dengan lancar, diiringi gerimis sebentar, terhenti saat adzan zuhur. Puluhan pertanyaan yang sudah ku siapkan, luluh tak bisa kuucapkan saat itu. Malu sekali, tidak percaya diri. Ada degup jantung luar biasa, setiap detik aku pura-pura kehausan. 13 Januari 2018.
Ustadz datang kerumah seminggu setelahnya, 21 Januari 2018. Ada kalimat yang membumbung di langit-langit hati, “Saya bukan ingin mengambil putri bapak, tapi saya ingin menjadi bagian dari keluarga ini”. Dan 11 Februari ada perhiasan kecil melingkar di jari manis kananku, yang di pakaikan oleh kakak ustadz. Satu hal yang ntah dia perhatikan atau tidak, aku mengenakan baju putih dan jilbab biru. Persis dengan datanya yang ada di proposal, bahwa dia menyukai warna putih dan biru.
Walau saat ini belum mencintaimu, tapi setelah akad cintaku hanya untukmu, setelah Allah dan RasulNya. InsyaAllah … Aamiin,


Medan, Februari 2018

Monday, September 25, 2017

BENIH ITU AL-QUR'AN

Anak-anak bernaung pada atap dan menjadi tanggung jawab para pendidik, beranjak  membentuk identitas dan
menjadi wajah tempat ia bernaung, wadah itu kita sebut sekolah. Yang menjadi tempat bermain dan lading tanam membentuk jati diri. Mulai dari memilih bibit, memilih jenis tanah, hingga proses tanam lalu perjalanan tumbuh dan mengakar. Lalu kita, guru hanya mengarahkan dan menjadi taulan. Kita pilihkan bibit terbaik,  yang akan menjadi dasar tindak tanduknya, menjadi penentu arah tumbuhnya, menjadi darah nafasnya. Bibit itulah AL-QUR’AN.
Allah Swt berfirman “ini adalah sebuah kitab  yang kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” Q.S As Shad:29).
Perjalanan benar akan dimulai, merauk keatas menembus tanah, perlahan menentukan arah, mencari cahaya mentari, ringkih mencari pegangan. Pun anak-anak, beranjak tumbuh dengan bakatnya masing-masing, berjalan dengan arah dan memiliki gawangnya, hingga mereka nanti kan senja dan menua. Lalu apa yang tetap sama? Benihnya, Al-Qur’an.
Yang senantiasa menjadi tuntunan arah perjalanan dan pilihan, yang harapannya, ketika mereka menjadi orang hebat tetap bernafaskan Al-Qur’an, dalam darahnya mengalir kekuatan Al-Qur’an, dan mencintai Tuhannya lebih dari apapun, percaya pada Nabinya lebih dari dari apapun, berjuang membela agamanya sekuat daya dan upayanya.
Kelak, tika kita semua sampai pada Yaumul Hisab, seorang anak dipersaksikan, tentang segala amal perbuatannya. Lalu bibir dan tangannya bersaksi, bahwa ketika disekolah, seorang guru telah mengajarkan Al-Qur’an padanya, yang dengan ilmu itu diajarkan lagi kepada anak-anaknya. Ketika ditanya oleh malaikat tentang siapa gurunya, maka bibir anak itu menyebut nama gurunya, menyebut nama gurunya, menyebut namamu, menyebut nama kita “Ustadz/ah Fulan”.
Apalagi yang bisa memperberat timbangan kita, persaksiakn anak-anak itu yang InsyaAllah, persaksian bibirnya yang senantiasa diajarkan mengucap nama Allah dan membaca kitab cinta Nya. Mereka yang akan bersaksi bahwa kita sudah benar member benih. Sebab benih itu, akan senantiasa menjadi petunjuk hidupnya, harta pusaka warisan Rasulullah untuk  umat-umatnya.
Rasulullah bersabda “Sebaik-baik dari kalian adalah yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengamalkannya”

Titah Tuhan mengantarkan kita pada titik ini, dipilihkan amanah ini, menjadi oenebar benih yang menjadi dasar perjalanan panjang mereka, Wallahua’lam …



-Lentera Kecil feat MasFana-

Sunday, August 6, 2017

Kita di perjalanan

Kita akan bisa menjadi apapun yang kita rancang.
yang menyaksikan adalah waktu 
sementara yang merestui adalah Tuhan.
dan restu dari Nya adalah penting.

Kita akan diketemukan dalam perjalanan

Thursday, March 10, 2016

PADA DEKAPAN-NYA

Langkah awal pada lembayung fajar terbenam sudah, menata kenangan pada ujung rok abu-abu. Sekarang ia telipat rapi dalam lemari, yang mungkin takan di sentuh oleh Nada. H-1 menuju gerbang kampus impian. Jika kau tahu helaian daun yang gugur, ingat lah pada hujan yang menguyur, rentangkan tangan, lalu terbang, lalu menari, sampai kau lelah, hingga kau terbangun dari tidur malam itu.
“Nadaa…” panggil ibu dari balik pintu kayu kamar yang hampir rapuh.
Karena ibu tak mendengar sahutan Nada, jadi ibu mengulang panggilannya, Nada pun tersentak bangun karena mendengar suara Ibu.
“Ia ibu, Nada sudah bangun..”
“Ayo Sholat Subuh dulu nak..”
“Ia ibu…”
Air terasa beku, dinginnya merangkak hingga ubun-ubun Nada, karena hujan malam tadi. Jemari-jemari mungilnya keriput, tanda ia kedinginan. Air wudhu masih melekat pada bulu-bulu tangan nya, membuka mata kantuknya.
Nada sudah niat, ba’da shalat ia akan mengerjakan tugas harian, membuat sarapan. Dua raka’at sebelum Shubuh, lalu dilanjutkan dengan Shalat Fardu Subuh. Semangat pagi Nada membara dengan riang. Nanti, puluk 07.00 ia akan melajukan sepeda motor nya menuju kampus berkarakter.
Masa terindah mungkin akan dimulai, dengan arakan semangat dan lembayung pulau-pulau pengabdian dan kepercayaan, esok akan dipikul beban dengan kuota maksimal. Harapan keluarga pada Nada.
Kini gerbang itu tampak di depan mata, berdiri tegak dengan tiang-tiang yang perkasa yang hitam. The Character Building University.UNIMED.
Nada berjalan dengan sumringah menatap sudut demi sudut pohon yang kekar. Dari kejauhan, terlihat banyak orang berjalan terburu-buru seakan mengejar gaji bulanan, atau mengejar bantuan dari Pemerintah. Nada dengan santai berjalan dengan pasti, ia sengaja berjalan pelan, agar pelosok-pelosok kampus baru nya bisa ia kenali.
“Assalamu’alaikum.. adik..” sapa seseorang di belakang Nada.
“Wa’alaikum salam, ehh kakak, kakak siapa? Tanya Nada heran.
“Kak Nisa dik, adik Nada kan? Tanya nya lembut sambil menyalami Nada.
“Ia kak, kita pernah jumpa waktu Nada daftar ulang kan kak?” lanjut Nada.
“Ia dik,” jawab nya sambil tersenyum.
Wajah nya teduh, senyumnya juga manis, sentuhan nya lembut, nada bicara nya terarah, sepertinya dia memiliki paradigma yang unik. Dan unik untuk ditelusuri dan penelusuran akan dimulai sekarang.
Angin mencoba menggoda Nada, suara kehangatan pada pelosok hatinya mancuak ekstrim. Sebagai hari perdana menjadi mahasiswa. Nada dan kak Nisa yang kebetulan satu jurusan berjalan bersama menuju fakultas tercinta.
Jadi, saat Nada daftar ulang, kak Nisa yang menjadi pewawancara nya. Nada seperti di introgasi, seperti nara sumber gitu diangggap oleh Kak Nisa. Karena Nada masuk di Jurusan PKn, jadi Kak Nisa bertanya tentang rumpun PKn. Mulai dari perkembangan hukum Indonesia sampai perilaku politik warga Negara juga pejabat negara.
Saat itu, Nada sangat bingung menjawabnya, karena Nada tidak menyukai politik, Nada juga berasal dari jurusan IPA sewaktu SMA. Jadi, Nada hanya bisa menjawab yang pernah ia lihat TV.
“Politik adalah cara seorang pejabat mengelabui massyarakat” jawab Nada.
Kak Nisa tersenyum dan berkata, “Politik itu cara seeorang untuk memperbaiki kehidupan, yang tujuannya agar lebih baik lagi, misalnya saja, ketika berperang, Rasulullah punya strategi perang kan, nah strategi itu disebut politk, tepatnya politik dalam perang”.
“Jadi gimana, sudah mengerti adik?” lanjutnya.
Nada tersenyum dan mengangguk.
“Ya sudah, ini isi dulu”. Kata Kak Nisa sambil memberi buku dengan kolom-kolom yang harus diisi.
“Adik kenapa milih jurusan PKn?”
“Ia kak, sedikit terpaksa”. Jawab ku, sambil bercanda.
Kak Nisa hanya tersenyum.”Jadi iklas tidak belajar di PKn?”
“Iklas kak InsyaAllah..” jawab Nada mengerutu.
***

Sekarang Nada dan Kak Nisa tiba di depan pintu besar jurusan. Kak membantu Nada mencari kelas, 38.13 tertulis pada roster Nada. Kak Nisa langsung mengantar Nada di ruang kelas bernomor itu.
“Ini dik kelasnya, kakak pamit ya, mau nyari kelas juga”
“Ia kak, terima kasih ya kak..”
Kak Nisa hanya tersenyum lagi, lalu berjalan menuju kelas nya. Nada masih berdiri di depan pintu, memperhatikan Kak Nisa yang hamper tak tampak, alunan jilbab nya masih terlihat, hijau muda dengan bunga merah pada bagian belakang jilbab nya.
“Maaf mbak, ini kelas 38.13 gak?”. Suara itu melenyapkan lamunan Nada akan Kak Nisa.
“Eehh, ia mbak. Mbak juga mahasiswa baru?” Tanya Nada.
“Ia mbak, nama mbak siapa, kita duduk sama yokk” ajak perempuan itu.
“Nama ku Nada, nama kamu?”
“Aku Tisa” jawabnya sambil mengulurkan tangan nya.
Sejak perkenalan itu, kami sering berdua kemana-mana. Tisa adalah teman yang baik, ia  juga sering membantu ku membuat makalah dan mengerjakan tugas lainnya. Tisa pernah bilang pada Nada, “berteman itu untuk memberi, bukan diberi”. Nada beruntung memiliki teman seperti Tisaa.
Seiring waktu berjalan, Nada mulai mengenal keputrian, dan sepertinya ia mulai nyaman dalam lingkaran itu. Kakak–kakak di keputrian sangat ramah, menarik, dan memiliki paradigma yang tak jauh berbeda dengan Kak Nisa. Aku juga sering mengajak Tisa, namun Tisa sering menolak dengan banyak alasan. Hanya sekali saat itu Tisa berkenan hadir dalam acara fakultas ini.
Yang semula Nada kira organisasi, ternyata di balik itu ada tugas besar yang diemban, yaitu dakwah. Ia, dakwah. Sungguh berat tugas itu, berada di pundak, kadang penat, kadang risau dengan tugas kuliah, kadang letih namun tak boleh bosan.
Terkadang Nada harus lari-lari mengejar jam syuro’ yang harus dihadiri, lalu pulang hingga petang. Hingga dirumah Nada tak sempat membantu Ibu memasak dan menjemput adik. Sehingga terkadang wajah ibu terlihat sebel pada Nada. Nada juga sering merasa keluarganya menjauh, adik-adik tak pernah bercerita tentang sekolah dan teman-temannya lagi, Ibu juga jarang bercerita tentang kenakalan adik-adik pada Nada. Terkadang rumah seperti gua asing, yang terdengar gaungan nya namun tak dikenali, seperti orang asing yang sedang numpang tidur, atau bahkan hanya seonggok daging yang bergerak namun tak bernyawa.
Suatu ketika, ibu bertanya pada Nada tentang penampilan Nada yang berdeda seperti biasa. Jilbab Nada lebih rapi dan baju nya juga mulai longgar.
“Kenapa seperti itu jilbab nya nak?”
“Ia bu, biar lehernya tidak terlihat, tambah cantik kan anak Ibu…” canda Nada.
Ibu hanya tersenyum, lalu berlalu meninggalkan Nada. Sepertinya Ibu tidak marah terhadap penampilan barunya. “Semoga Ibu tidak marah” kata Nada dalam hati. Nada senyum senyum sendiri melihat gambar dirinya dalam cermin, berbingkai jilbab. “Istiqomah terus ya adik kakak”, suara itu mengiang dalam ruang pikiran Nada. Kak Nisa sering sekali berkata itu pada Nada, Kak Nisa juga yang mengajak Nada  belajar dalam dekapan ini. Dan ini adalah tahap awal Nada belajar dakwah, bahwa dakwah itu penting. Dakwah itu asyik dan dakwah itu belajar.
Prestasi di kelas, setelah bergabung dalam dekapan ini, Nada ssedikit lebih berani berargumen, sedikit gemar membaca, dan sedikit lebih membulatkan tekad. Sekarang Nada tak mau menyiakan waktu luang nya, ya walaupun sekarang Tisa sedikit menjauh darinya. Namun, Tisa masih memberi perhatian pada Nada, Tisa sering mengingatkan makan siang dan mengingat kan shalat.
“Da, Tisa boleh Tanya?” kata Tisa sembari berbisik.
“Boleh, Tisa mau Tanya apa? Tanya aja sa…”.
“Nada kenapa sekarang berubah? Jarang maen sama Tisa lagi, kita juga sekarang jarang diskusi, terus jilbab Nada kenapa?”
Nada tersenyum, “ Nada gak berubah kok, tapi maaf ya akhir-akhir ini Nada agak jarang bareng Tisa, masalah jilbab, ini supaya leher nya gak menerawang sa”.
“Oh ia ya da, leher Tisa kelihatan da?”
“Ia sa, double aja jilbab nya sa”
“Emang bisa da? Ajarin Tisa ya..”
“Ia sa pasti. Besok Nada singgah ke kos Tisa ya”
“Ia da, makasih ya. Yok kita masuk kelas” sambil memegang tangan Nada.
Keheningan beberapa hari yang lalu kini memudar, Nada senang sekali karena sahabat nya bisa mengerti. Tisa itu pintar, namun dia masih polos, sehingga terkadang ada teman yang usil padanya. Tak jarang dia juga menangis. Dan saat itulah Nada beraksi sebagai jagoan, hahahah Nada 008 beraksi.
Satu pukulan terhempas pada bagian punggung lelaki-lelaki dekil itu. Para lelaki di kelas tak ada yang berani dengan Nada, karena Nada waktu SMA adalah anggota silat, jadi masih tertanam jiwa keperkasaan nya. (hhe, acem betol aja).
Mata perangai dalam balutan sukma nurani ternyata lebih nyata dibanding beraksi namun tak jelas. Daun-daun pohon saga berserakan, menutupi tanah kering yang berpenghuni, marajut tepi demi tepi ketegaran asa, hingga ia terlihat nyata walau dengan mata tertutup. Gairah untuk tetap disini mengajak berpergian ke dermaga syahdu, mengajak rehat sejenak karena lelah.
Kak Nisa selalu bilang, “Jika kita lelah, ucapkan takbir dalam hati, jika masih lelah, ucapkan lagi dan lagi, hingga lelah itu pergi dalam diri kita, hingga semangat itu hadir dalam diri kita, hingga kaki kita bisa beranjak pergi untuk melanjutkan kewajiban ini. Ayo semangat adik kakak”. ALLAHU AKBAR…
Semangat Nada akan terus membakar jiwanya, namun ketika dirumah, ketika ia tatap wajah keluarganya,   itu pergi, semnagat itu sekan berubah menjadi sebab kerenggangan ini.  Saat dirumah, Nada hanya bisa diam dengan teguran-teguran itu, yang mempojokkan dirinya.
“Ayah, Ibu kenapa? Ibu gak sayang sama Nada sekarang ya yah?”
“Tidak begitu, ajak saja Ibu bicara, dia hanya ingin kau perhatian padanya seperti dulu, sabar ya nak” kata Ayah sambil mengelus kepala Nada.
“Ia ayah, terima kasih ya yah”.
“Ia nak, sudah lah belajar sana” kata lelaki paruh baya itu.
Nada langsung beranjak dari kursi, lalu melaju pada ruang berwarna hijau muda dengan hiasan boneka ulat warna warni. Semnagat sang ulat seakan tak mampu ter-transfer pada memori Nada, badannya terasa lemah, dan sangat lelah.
Esoknya ketika Nada bangun tidur, terasa kepalanya berat sekali dan matanya sukar di buka, badannya kaku seakan tak bergerak. Dan ketika matanya bisa di buka, terlihat suster di samping nya sedang membenarkan infus Nada.
“Ibu…” katanya peluh.
“Adik sudah sedar? Sebentar saya panggilkan Ibu nya ya” kata suster itu.
Suster itu langsung beranjak keluar dan memanggil Ibu. Tak lama kemudian Ibu dan ayah masuk menemui Nada.
“Nak, apa nya yang sakit?” kata ibu.
Nada hanya diam dan memandangi wajah Ibu yang terlihat sangat khawatir akan dirinya, Nada hanya menggelengkan kepalanya.
“Nada tidur aja ya, biar Ibu kusuk biar gak capek lagi,” kata wanita itu dengan nada cemas nya.
“Nada eeeng gak capek bu” kata Nada peluh. Kosakata yang ia ucapkan belum sempurna, massih terbata-bata. Seakan lidahnya masih kaku digerakkan. Seharian ia tidur tanpa reaksi apapun, sehingga membuat keluarga nya khawatir. Ibu mengusuk tangan Nada dengan lembut, sambil mengusap keringat di dahinya, sesekali mengusap kepala Nada dengan kasih sayang.
Sebenarnya Ibu tak pernah marah pada Nada, apalagi sampai tak sayang Nada lagi, hanya saja Ibu terlalu khawatir dengan kondisi Nada yang sekarang sudah sangat padat dan melampaui kegiatan Ayah dan Ibu.
“Ibu, jangan beri tau Tisa ya bu” kata Nada.
“Ia nak, ibu hanya memberi tahu dosen mu saja, dan izin bahwa Nada beberapa hari ini tidak bisa masuk” kata Ibu.
“Terima kasih ya bu”
Beberapa hari Nada di rumah sakit, rasanya bosan dan terkekang banget. Makan di suapin, ke kamar mandi dianterin, tidak nyaman sangat.
Rasa rindu pada alunan kerudung Kak Nisa, pada manjaan Tisa, dan dekapan itu. Terasa hilang semua terbawa angin yang mengalun keras. Merampas sejenak aktivitas Nada yang menjadi kebutuhannya, menunaikan kewajiban itu, dan merdiskusi dengan onggokan-onggokan sukma yang luar biasa.
Hari ini, Nada keluar dari rumah sakit. Suasana fisik nya sudah membaik, berikut dengan keadaan psikis yang sudah sangat rindu akan dekapan itu. “Jika, tidak bersama dakwah, maka kita dengan siapa lagi?”
Itu alasan mengapa Nada ingin terus berada dalam dekapan itu, bergandeng bersama mengemban amanah dalam dekapan ukhuwah. Ukhuwah yang sejati.
Begitu sampai dirumah, perkataan ibu mengagetkan Nada, pikirannya melayang seakan dunia berputar hebat dengan kekuatan ekstra.
“Nada jangan pakai jilbab yang seperti itu lagi ya nak, Nada juga tidak di izinkan pulang petang lagi”.
“Kenapa bu???”
“Ibu tidak mau Nada sakit lagi, Nada terlalu sibuk dengan urusan kampus, sampai sampai melupakan  kesehatan sendiri”.
“Tidak bu, Nada janji tidak akan sakit lagi, asalkan Nada diizinkan pakai jilbab sseperti biasa dan tetap mengikuti kegiatan kampus bu, ya bu ya, Nada janji akan jaga kesehatan bu, Ibuuu…” kata Nada sambil memegang tangan Ibu.
“Keputusan Ibu sudah bulat, tidak bisa ditawar-tawar lagi”.
Lalu Ibu pergi meninggalkan Nada dikamar sendirian.
Isak tangis tak tertahan kan lagi, seakan dirinya seperti beku tak mampu bernafas dengan tenang, pikirannya melayang, menyapu angan di balik tirai merah muda itu, membalikkan asa keras yang dulu merasukinya. Kini perasaan itu muncul, takut.
Langsung ia arhkan tangan pada buffet kecil lalu mengambil hp yang telah lama ia tingglkan. Banyak panggilan tidak terjawab dan pesan masuk dari Tisa, Kak Nisa dan bberapa teman yang lain. Ia arakhan pada nama Kak Nisa, Nada sudah tak tahan, ingin segera berbincng dengan Kak Nisa, ingin segera menangis di pundak nya.
Tuuuuuuuuuuuuuutttttttttttttttttttt…………..
Tak ada jawaban dari Kak Nisa. Nada ingat akan pesan Kkak Nisa, “mengadu pada Allah dan selalu istiqomah”. Tanpa pikir panjang Nada langsung berwudhu dan melaksanakan shalat isya. Air matanya terus mengalir, “Allah, kenapa sekarang seperti ini, maaf kan Nadda jika selama ini Nada terlalu futur, terlalu terlena akan keindahan dunia, terlalu sok sibuk sehingga melupakan tugas dirumah, tapi Allah tolong jangan buat Ibu seperti ini. Nada sedih, Allah Nada gak mau jauh dari Allah, Nada sayang Allah”.
Tanpa sedar, ia pun tertidur dengan mukenah yang masih ia kenakan. Dalam tidur nya ada sekerlip mimpi, dalam mimpi itu, Nada bisa berteman dengan angin, Nada diajak berkeliling oleh angin, Nada juga diajak ke pantai dengan pasir putih dan tupukan krikil dan pecahan karang.
Beberapa jam tertidur, Nada pun tersentak bangun karena teringat akan beban pikiran yang ia hadapi sekarang. Hatinya sedikit agak tenang dan terkontrol.
Pagi ini, Nada tetap mengenakan jilbab seperti biasa, walau ia tahu Ibu akan melarangnya, atau mungkin akan menggatikan jilbab Nada. Belum lagi, jika Nada nanti hendak pergi, pasti Ibu akan berkata jangan pulang petang dan jika sudah selesai kuliah langsung pulang.
Sudahlah, ini bukan masalah. Ini harus Nada hadapi, dan InsyaAllah ini benar.
Nada beranikan untuk keluar kamar. Dan menuju meja makan untuk sarapan. Dan ternyata benar, Ibu menampakkan wajah kesalnya pada Nada.
“Kenapa tidak nurut kata-kata Ibu? Sudah tidak mau dengar kata Ibu lagi?” kata Ibu dengan suara pertanda peluh.
“Ibu kok gitu bicaranya? Nada dengar kata Ibu, tapi bu maaf  untuk yang ini Nada tidak bisa bu. Ibu jangan marah sama Nada ya”. Kata Nada setenah mengiba.
Ibu menggelengkan lalu beranjak dari tempat itu. Angin kembali mengajak Nada dalam keheningan, walau mentari baru beranjak dari tempat istirahatnya namun seakan ia mulai letih lagi. Air mata Nada turun lagi, “Allah, kenapa ini terjadi pada ku?” Tanya nya dalam hati.
Seketika itu, suara hp Nada terdengar, pertanda ada pesan masuk,
Asslamu’alaikum dik,
Bagaimna keadaan _y? ingat lah, jalan dkwah tidak semulus jlan tol, terkadang ada duri yg hrus qt hadapi dijalan itu, penat & lelah. Adik k3 yg kuat ya…
Tntangan pst ad dik,
Keep istiqomah, innalaha ma’ana.
Itu pesan dari Kak Nisa. Kakak kesayangan Nada, kakak yang sering menemani Nada walau tanpa sosok nyata nya. Sholehatunnisa, itu namanya.
Setelah sarapan, langsung Nada pamitan pada Ibu. Ibu hanya mengangguk dan tak berkenan menerima salam  Nada. Nada kembali tersedih, bibirnya mancung kedepan, namun harus tetap seperti ulat, tegar dalam proses yang harus dijalani hingga ia mampu terbang dengan sayap nya sendiri.
Sampai suatu ketika, kemarahan Ibu mencuak, hingga Nada sangat ketakutan. Secara refleks Nada melarikan diri dari rumah. Dan tujuana Nada adalah kost Kak Nisa. Nada menagis se nangis-nangisnya. Dan Kak Nisa tanpa bosan untuk menenagkan adiknya itu.
“Sabar ya dik, Allah tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan kita dik, adik mendapat ini karena Allah tau, adik bisa dan kuat”, Kak nisa sembari memeluk Nada.
Ketika itu juga, Ibu Nada datang dan menyuruh nya pulang dengan memaksa dan menarik tangan Nada.
“Tidak bu, Nada tidak mau” kata nya sambil terisak-isak.
Nada pun menuju pintu dan keluar mencoba untuk lari. Begitu juga Ibu yang terus mengejar Nada.ketika sampai di ujung jalan, Nada tak melihat ada kendaraan yang melaju begitu kencang, hingga akhirnya ia terseungkur, tertabrak dan berlumuran darah.
“Anakk… ku” kata Ibu.
Nada sudah tidak bergerak lagi. Mata nya terpejam dan tangan nya menggemgam sebuah kertas putih kecil. Gengggaman itu terbuka, di kertas itu tertulis, “Ibu, aku menyayangimu karena Allah”.
Ibu sangat menyesal, selalu meyalahkan diri sendiri akan hal itu. Jika ia tak egois dan mengizinkan anak nya berada dalam jalan koridor ini.
Sekarang Nada telah tidur tenang, tapi apakah berarti jalan dakwah ini sampai disini???.

Hari ini,                                                                          
Daun terakhir pohon pinus gugur
Menutupi gerak ulat dibawahnya
Mencengkeran tanah dengan kerasnya
Hari ini,
Asa letih terbayar sudah
Merayap pada sukma sang pujangga
Kini ia merangkai sajak bunga rampai akhir
Esok, akan ada tamu
Melihat si ulat yang tertidur
Ia beranjak pada proses
Menjadi kepompong
Mungkin lusa akan terbang
Walau pada dunia yang lain
Dekapan ini terpampang rapi dalam tiap selaput-selaput darahnya
Menggulung kelemahan karena bosan
Kini, ia masih kepompong.                                           
Nada setia dalam dekapan ini.
Walau irama itu terdengar pilu
Dan menyesallan

                                                                                                                                MEDAN, 15 Maret 2013